10 Juni 2015

Wonderfull Wonogiri: 7 Air Terjun Mlati

Enaknya kerja kantoran, kalau sabtu dan minggu pasti libur. Kesempatan emas untuk pulang kampung, semacam Golden Week-nya anak kantoranlah. Memang, saya tipenya suka dadakan sih kalau mau ngapa-ngapain. Mendadak pengen kuilah, mendadak pengen pulang, dan mendadak pengen plesir! Jika ketidakpastian adalah sebuah 'paham' , saya adalah penganut pertamanya.




Sampai di rumah, setelah naik motor dari Yogyakarta-Wonogiri sekitar 2,5 jam yang ngabisin Pertamax 2 liter, rumah sudah dipadati sanak keluarga. Sebenarnya, saya pulang dalam rangka pernikahan ibu. Saya pun mengambil cuti pada hari rabu-kamis, padahal jumat tanggal merah. Jadi??? Saya libur dari rabu-minggu. Mantep gak nih?








Rabu-kamis sibuk bukan kepalang. Banyak kerjaan yang ternyata belum terselesaikan. God! Saya harus mondar-mandir nyari sinyal. Jangan pakai paket internet Telkomsel deh kalau di pegunungan Wonogiri. Paling cocok sih 3. Saya dulu bisa Youtube-an GGS malah pas pakai 3.

GGS? Iya GGS, Ganteng-ganteng Serigala itu lho. Gini-gini  saya ngefans berat dengan ketampanan Dek Aliando. Gantengnya tuh troublemaker gimana gitu. Oke,balik lagi ke cerita.

Karena  saking ngidam plesiran di Wonogiri, berbekal sms saya menghubungi teman segeng pas SMA. Zaman SMA dulu meski saya memiliki citra siswa teladan (tanya guru deh kalau tak percaya), saya punya geng dengan nama ‘Bolgend’. Keren gak?

gaya kekinian

Bolgend beranggotakan saya, Uut, Susan, Nina, dan Cebret. Penasaran gak Bolgend tuh kepanjangannya apa? Kepanjangannya adalah Bolo Gendheng alias Teman Gila! Jadi jangan bayangin, geng kami ikut berantem, jambak-jambakan, rebutan cowok terganteng di sekolah, atau jadi cheerleaders saat ada basket  ya. Sesuai nama, kami adalah geng dengan kekonyolan dan kegilaan.


Geng Bolgend

Negosiasi hari plesiran pun berjalan alot. Topik kapan dan di mana rasanya hanya berputar-putar saja. Seharian,hujan malas berhenti. Kami ragu akan jadi plesiran atau tidak. Akhirnya, berbekal nekat, kami berangkat menuju air terjun di Desa Mlati. Desa Mlati yang berlokasi di Kecamatan Krisak, menjadi primadona baru bagi pecinta wisata alam di Wonogiri lho.




Air terjun dengan 7 tingkat diperkenalkan kepada masyarakat luas. Dari pengamatan, tempat wisata ini perlu untuk dipoles. Fasilitas yang ada belum memadai untuk standar jalan-jalan kekinian. Misalnya, area parkir, penjaga, tiket masuk, dan fasilitas lainnya.

Dapat diakses dengan mobil kecil dan motor. Jalanan lumayan bagus, meski ada yang berlubang. Tapi, kreatifnya orang Indonesia, warga sekitarpun jadi wirausaha dadakan. Halaman rumah disulap menjadi lahan parkir dan toilet. Jadi tak perlu khawatir lagi untuk parkir.

Perjalanan dari pusat kota Wonogiri menuju Desa Melati sekitar 20 menitan. Selesai memarkir motor, kami ragu lagi. Pasalnya, jam telah menunjukkan pukul 15.30, habis hujan, mendung dan sepiiiii.

Dan tau tidak, apa kesalahan fatal yang saya lakukan waktu itu? Saya bawa adik berusia 8 tahun untuk naik gunung di antara rombongan perempuan! Niatnya sih, mau ngajak nge-bolang, trus jelasin ke adik, harus sayang sama alam, gak boleh merusak alam gitu. Tapi….kalau adikku nangis trus minta gendong gimana bro???

Kesalahan kedua, saya tak membawa jaket, alhasil kedinginan sepanjang jalan. Ketiga, pakai sandal jepit! Inilah risiko dadakan ala saya.  Meski ragu, akhirnya, saya, Uut, Nina, Susan,dan adik berangkat juga menyusuri persawahan. Nampak beberapa petani di kejauhan, sedikit melegakan bagi kami. Oh ya, salah satu temen kami, Cebret, tidak dapat ikut karena dalam misi mencari rezeki untuk nikah. So sweet!




Medannya cukup sulit sebenarnya untuk kami yang memakai sandal. Sudah bisa membayangkan belum tanah liat sesudah terlibas  air hujan seharian? Kita harus ekstra hati-hati karena jalanan licin, curam, bahkan longsor. Kita juga harus waspada dengan ular dan lintah ya. Mending pakai sepatu trekking deh!


Sialnya, sampai di tengah perjalanan, adik mulai menunjukkan gejala-gejala mau rewel. Ia menggaruk-garuk kepala, muka jutek, dan kayak mau minta balik. Oh dear! Rayuan maut pun saya luncurkan, ‘kalau si bolang gak boleh rewel ya?’. Ajaib, sukses berat! Adikku suka nonton Si Bolang di Trans7 sih. Good job Trans7.

Ketenangan perjalanan yang dipenuhi keraguan ini makin memburuk dengan adanya suara yang memecah hening. ‘Uhk..uhk..uhk’.

Kami yang tengah terjebak di tengah-tengah lumpur campur air, menghentikan langkah, lalu saling pandang dalam kebisuan.

‘LUTUNG!!!!!!!!’, teriak hati kami.

Kami mendengar suara lutung yang seolah-olah memberikan komando pada anak buahnya untuk menyerbu kami. Perasaan seperti ini pernah saya rasakan sebelumnya. Berjalan di tengah pegunungan landai dengan pohon-pohon rimbu di sekeliling? Jurassic Park!
Saya pun berinisiatif membuka suara.

‘Mau balik apa lanjut?’
Semuanya ragu.
“Jujur aku takut’, saya menambahkan. ‘Dan keraguan biasanya bertanda buruk. Rasanya seperti Jurassic Park gak sih?’, kataku bermonolog.

Raut takut bercampur ragu begitu jelas di wajah mereka, kecuali adiku ya. Sepertinya dia tak memikirkan apa-apa. Udah gatel pengan main air soalnya.

‘Kalau aku manut(nurut-red) plend’, jawab Uut tak yakin. Sementara yang lain juga ’ manut’  dan mengatakan tak takut pada  lutung. Well, mungkin cuma saya saja yang parno karena kebanyakan nonton Jurassic Park!

Setelah berdebat dengan diri sendiri dan teringat dengan kisah bolang yang pemberani. saya memutuskan, ‘Lanjut yok!’. Perjalanan pun dilanjutkan dengan mataku yang tak pernah berhenti mengawasi ke sekeliling. Gak lucu kan tau-tau ada lutung minta gendong?

Perjalanan yang kami tempuh sekitar 20 menit untuk menuju air terjun tingkat pertama. Di tengah perjalanan, kami hanya menjumpai dua rombongan saja. Sialnya lagi, warung yang berada di samping air terjunpun juga tutup. Kami benar-benar sendirian!






Bayang-bayang, menikmati segelas kopi instan hangat pada sore hari di samping gemericik air terjun pupus sudah. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, sandal jepit kami lepas, lalu nyempung ke sungai. Gak benar-benar nyemplung ya, hanya kaki kami saja, hehe. Tak lupa selfie pakai tongsis, biar eksis.


Air terjunnya cantik berat! Rasanya kayak di Jepang dengan daun berwarna-warni di sekitar air terjun. Dan lihat saja warung dari kayu di samping air terjun, beda tipis lah seperti kuil atau semcanam ancient building gitu. Suasananya yang tenang membuat kita dapat menyelami alam lebih dalam. Airnya juga seger! Sayangnya, hari makin gelap, kami memutuskan hanya sampai di air terjun tingat satu saja. Nangis!!! Namanya Banyu Anjlok. Udara disekitar yang sejuk dan berkabut membuat kita betah-betah di sana. Mungkin, next time Bolgend main ke sini lagi.



Sebenarnya, air terjun tujuh tingkat ini sudah ada sejak dulu, bahkan telah dinamai dengan nama-nama unik dari para leluhur. Tapi, memang orang-orang sekitar belum menangkap sisi ‘menjual’ dari air terjun ini. Mungkin rasanya seperti kita  lihat sungai di depan rumah gitu kali ya?




Andai tidak hujan, andai tidak kemalaman, andai kami sedikit berani, 6 air terjun lain dapat kita singgahi juga. Keenam air terjun lain adalah Kedung Dhandang, Kedung Bunder, Kedung Turuk, Jurang Gande, Kedung Ringin dan Padusan. Dari semua air terjun ini, ada satu nama yang menarik. Hayo tebak air terjun yang mana?







Nama Kedung Turuk pasti akan menarik bagi pelancong yang bisa berbahasa Jawa. Turuk merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut kelamin perempuan, tapi dalam bahasa kasar. So, jangan keras-keras ya menyebut istilah ini di tempat umum. Takutnya, dikira mesum lagi ^^
Waterfall Girl
Puas berfoto, kami langsung cabut. Di area persawahan tak lupa selfie sama simbah-simbah petani yang balik dari sawah. 


Nunut Selfie Mbah

Dan sebelum perjalanan ini berakhir, ada satu tantangan lagi yang harus kami taklukan. Sungai tanpa jembatan.


Main Air 


Sebelum menyebrang, kami sempatkan untuk main air dulu. Airnya bersih dan segar, pengan lama-lama di sana. Tapi, aliran sungai makin deras, jangan-jangan kami tak bisa nyebrang. Selesai main air, saya harus menyebrangi aliran deras sungai dengan adik menggelayut di punggung. Ya, saya nyebrang sungai sambil gendong adik!  Nangis dalam hati.

Sampai di parkiran, Uut, Nina, dan Susan ngaku kalau mereka sebenarnya takut pas ada lutung. What the.. saya aja udah ngrasa parno gitu dan merasa lemah, ternyata mereka takut juga. Baiklah, mending cuci kaki di kamar mandi warga yang sengaja disediakan untuk pelancong saja.Kita siap-siap mau balik.  Kata ibu-ibunya sih, biasanya air terjunnya ramai kalau libur. Mungkin karena hujan seharian ya, jadi pada males main.

Air terjun ini menambah khasanah tempat wisata di kotaku tercinta. Ayo segera datangi saja, mumpung belum ada tarif masuk, hehe. Memang kalian tak penasaran bentuk Kedung Turuk seperti apa? Katanya mirip banget lho! Oke, cukup di sini ceritanya. Nanti kalau Bolgend ada acara nge-gila bareng lagi, pasti saya tulis kok. Ngutip kata Trinity ya, money is better spent on experiences than on material things! Mending duinya buat jalan-jalan ya! Ngajakin boros deh.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar