Kursi Kosong yang Menanti dari Masa Lalu |
Saya rindu sosok kosong dari masa lalu.
Merindukan sosok pemarah, acuh tak acuh, tetapi antusias! Rindu berkencan dengan pembuat onar dalam diri. Kata Emak, dia bersedia mencintaiku, apapun rupaku, meski rupa tikus! Kata Ayahku? Ia tak pernah berkata apapun, kecuali aku cantik. Bahkan sampai terakhir kali kami bersua, ia tak pernah berikrar bahwa ia mencintaiku. Ia lebih senang bersua tentang Antasari atau Persebaya, bukan aku. Sementara aku, lebih suka mengacuhkan setiap pesan singkatnya dibandingkan meneleponnya. Lalu menghujat, "Bapak, apa Kau cinta padaku?". Setelah meninggalkan kami dan mengutusku sebagai anak perempuan pertama, sosok kosong itu lenyap bersamanya. Jiwa kekanak-kanakan yang dititipkannya, turut dibawa pergi. Jika diterjemahkan dalam bahasa sosial, aku lebih manusiawi dengan sendiri.
Sekarang, begitu mudah untuk berikrar, saat semua sendirian. Kesakralan dari ikrar-ikrar itu menguap, mengembun saat aku nyenyak bermimpi. Darimana datangnya keberanian saat semua orang sendirian? Manusia menjadi hidup saat tak perlu beradu jotos atau sekedar meminta izin untuk bernafas. Setelah sendiri, aku beralih kepada yang hidup! Aku meninggalkan yang mati. Meninggalkannya jauh di belakang.
Burung berbulu emas mengudara |
Kejamnya, ingatan menghapusnya begitu saja. Hanya normatif antar keluarga yang sukses kuingat. Kini, aku ingin menjadi burung. Burung berbulu emas dengan sepatu berhak. Aku ingin berhias tanpa anggukan. Ingin terbang meski orang lain sibuk berjalan mengejar hal-hal sulit. Aku ingin melakukan hal-hal tolol seperti sosok kosong itu. Tanpa peduli dengan mimpi-mimpi mandul.
Digenggamanku, erat, aku membawa mimpi bukan milikku. Aku selalu memperjuangkan mimpi orang lain. Membiarkannya mendikteku dengan seadil-adilnya. Biarkan lelah mengaduh, memaklumi, asalkan aku bisa terbang dengan sosok kosong. Sebelum sayapku mengepak, aku ditarik dari masa depan, kembali! Kursi kosong selalu menungguku di belakang. Cara termudah untuk mengikat calon burung, dan membuatnya nglindur lagi, membuat ikrar-ikrarnya mengembun lagi, dan tertidur di siang bolong di kursi kosong yang menantinya. Saat buaian itu hilang, aku terbingkai dalam sebuah pigura, duduk dengan topeng bercat pudar di kursi kosong dari masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar