18 Januari 2013

Ilmuan ala Roman Picisan

Salam Buku!
Salam Masa Depan!
Salam Para Penulis!
Salam Pohon Jati !



Wahai malam yang budiman, gelapmu menambah gundah. Pikiran tak bertuan ini berontak menuntut kepastian. Masa depan hanyalah 'soal', dan saya tetaplah saya. Pemudi yang haus dengan ilmu dan keperkasaan logika. Hidup itu indah tanpa ada untaian-untain celoteh yang tertuang di atas kertas. Terus beranak pinak menuntun saya pada jurang 'sesat pikir'dan terus memaki masa lalu. Saya hanya ingin menjadi Ilmuan!!!

Masih segar diingatan saya, saat menempuh pendidikan di SD. Kegilaan saya terhadap sains tidak dapat terbendung lagi. Boleh saja nilai matematika saya buruk rupa, tapi jangan tanya nilai Fisika dan Biologi saya kala itu, 95 adalah nilai minimal. Semua orang membaca masa depan saya dengan pasti, 'Ilmuan".
Beragam percobaan telah terlaksana. Okulasi, hidroponik tanaman anggrek, penelitian pencemaran air sampai kecepatan cahaya bukan lagi hal baru. Pembuktian bahwa produk deterjen bermerek Rin** adalah
deterjen paling berbahaya untuk lingkungan berhasil saya dapatkan, hingga saat ini Ibu saya memakai produk lain.   Bahkan bukti-bukti bisu ini masih tertata rapi di rak buku. Ibu, selalu menjaganya demi masa lalu . Ibu adalah sosok yang suka menulis, tetapi tidak pernah bermimpi puteranya akan menjadi seorang sastrawan.

Saat masuk SMP, lagi-lagi bisikan 'ilmuan' mempengaruhi saya.  Pada saat itu guru Biologi, memberikan sebuah kepercayaan besar untuk melakukan penelitian pertumbuhan cabai. Sebidang tanah di belakang sekolah telah disiapkan. Saya sendiri mengolah tanah, memberi pupuk, pengujian kadar tanah, penanaman dan perawatan selama satu bulan lebih  sendirian tanpa bantuan. Dan kekuatan terbesar saya untuk melakukan semua itu adalah kecintaan saya pada tanaman. Melihat bunga-bunga cabai mulai  menampakkan diri, membuat jiwa saya hangat akan rasa bangga. Saya sukses besar!!


Percobaan biologi ini saya imbangi dengan kecintaan pada Fisika dan Astronomi. Hitung-menghitung bukan lagi perkara, ya, karena saya telah lama jatuh cinta pada keduanya. Jujur, sedikitpun saya tidak bermimpi menjadi sastrawan! Logis dan fakta adalah detak jantung saya. Saya  enggan bersimpati dengan bahasa picisan.

Namun, saat masuk SMA, saya memutuskan untuk menjadi alien yang kesekian kalinya. Tanaman-tanaman yang tertata rapi di kebun pribadi  banyak yang mati dalam kebisuan. Saya menelantarkan mereka dalam diam. Saya bunuh mereka secara perlahan-lahan, hingga hati saya puas. Ketidakpuasan merupakan hal yang paling mengerikan dari diri saya. Saya tidak puas dengan sosial. Mereka yang berbicara dengan towa-towa orangtua mereka, menyebar virus bahwa IPA adalah kelas dari semua kelas. Saya jatuh cinta pada sains scara murni. Dan ego saya tersakiti, saat mereka 'melukis' sains karena pamor. Dan ini bukanlah harga yang setimpal.  

Kejadian ini cukup mencengangkan . Suatu pagi, wali kelas saya Pak Untung, menemui saya sebelum pembacaan kelas baru di tahun kedua SMA.
"Dewi...!"
"Iya Pak"
"Dewi kemarin tidak salah mengisi angketkan? Kok pilhan pertama Kelas Bahasa? Dan pilihan kedua IPS?"
"Memangnya kenapa Pak?"
"Nilai kamu masuk lho untuk Kelas IPA"
"Saya kira IPA tidak boleh jadi pilihan kedua PAk, jadi saya milih IPS"(jawabku polos)


Dan cerita ini belum berakhir, saat bertemu dengan dengan Guru Bahasa saat SMP di sebuah angkot
"Dewi sekolah dimana?"
"Di SMA XX Bu, "
"Pasti masuk kelas IPA ya?"
"Tidak Bu, saya Kelas Bahasa"
"Lho, kok Bahasa?" , jawab guruku dengan raut wajah kecewa, padahal beliau adalah Guru Bahasa  Indonesia.

Dengan idealisme yang sewaktu-waktu dapat meledak, saya masuk Kelas Bahasa yang selalu dianggap kelas bawah. Mereka-mereka yang selalu memuja kepastian, seharusnya lebih membuka mata. Saya akan mengubah takdir masyarakat, mengoyaknya  dengan takdir pilihan saya sendiri. Saya berjanji akan membuat mereka tercengang dan membuat mereka bungkam dengan kebanggaan-kebanggaan yang mereka beli. Percobaan saya selanjutnya adalah pembuktian   bahwa Ilmu Bahasa bukanlah omong kosong.

Tiga piala bertema "bahasa' saya sumbangkan untuk mereka-mereka yang suka berdiplomasi dengan  mimpi.

"Selamat, Anda telah saya kalahkan"

 Mereka-mereka yang memilih sains karena reputasi dan iming-iming orangtua, tentu pantas dikasihani. Karena pikiran-pikiran mereka akan terpenjara pada ke-empirisan tanpa jiwa. Sampai kapanpun, sains adalah cinta pertama saya.  Dan saya tetap dapat berfikir ala 'ilmuan' dengan tulisan ala roman picisan. Dan dengan bahasalah kini saya bernafas dan terus melanjutkan hidup.  Melanjutkan mimpi Ayah terbaik di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar