23 Januari 2013

" I Want to be Alien"


“I want to be Alien”



 “Mungkin sulit untuk mengalahkan musuh, tapi mudah untuk mengalahkan diri sendiri-kode etik samurai”, (de Mente, 2009 : 76)

Setiap manusia  terlahir  dengan impian kesempurnaan dan keabadian empiris. Mencoba tuli dengan kecacatan dan terus bergerak  lari dari  polemik dan anarki dalam sebuah ruang. Mencoba meraba-raba sekat, berbaur dengan sakti lalu berimitasi demi bertahan hidup. Mengolah pikir dan bersimbiosis dengan rasa, mengelabui nurani. Manusia tercipta dengan segala macam risiko yang telah mereka catat dalam jalan masa depan. Kekuatan manusia sesungguhnya bukanlah apa yang dikatakan oleh sosial. Namun, bagaimana seorang pribadi mampu mengelabui kekosongan ‘makna’,  lalu menggores takdirnya sendiri dengan rasa bangga tanpa sesal.  Membentuk pribadi yang murni, pribadi yang berani berbeda dari orang lain. 
  
Dewasa ini, membentuk sebuah pribadi yang ideal tentu saja membutuhkan tolok ukur yang tepat. Masyarakat yang tersusun oleh atom-atom  keraguan, menghakimi segala macam bentuk keputusan ‘abstrak’ yang dianggap lemah teori. Paham-paham yang keluar jalur dari ‘soal’ mulai ditinggalkan dan dianggap tidak relevan dengan hidup. Manusia memuja suci, tetapi minim doa. Indonesia sebagai negara yang katanya menjujung kebudayaan timur  nampak gusar saat kebudayaan barat mengibarkan keperkasaannya. Indonesia mulai ragu dengan dirinya sendiri.

Keraguan ini lahir dari ketidakmamupuan masyarakat dalam mengeja jaman. Era yang dapat berkembang tanpa proses, mencetak sejarah lalu terlahir kembali dalam jenis baru. Namun, sayangnya virus ini tidak hanya diidap oleh kelas-kelas minim huruf, tetapi juga mereka-mereka yang menyebut dirinya sebagai insan terdidik, mahasiswa. Alih-alih mencetak sejarah baru, mahasiswa seringkali terjebak dalam masalah dilematis yang mempertentangkan antara proses dan hasil.  Mereka terjebak oleh sebuah keyakinan yang tengah digandrungi oleh agen-agen sosial. Agen-agen yang melempar wacana idealisme dan pragmatisme sebagai ‘apa’ dan solusi sebagai ‘bagaimana’.

Wacana idealisme dan pragmatisme tengah mengudara baru-baru ini. Idealisme dan pragmatisme hadir sebagai sebuah kolaborasi dilematis di tengah kecamuk jaman. Merapatkan massa, merubah bentuk dan terus berpenetrasi dalam ruang-ruang sosial. Memecah belah sendi-sendi kesatuan pikir, bermetamorfosis dalam kelompok rentan ‘sesat’. Mahasiswa tumbuh dalam lingkungan sosial semacam ini, hingga gelar mereka pun mulai dipertanyakan. Apakah mahasiswa mampu mempersatukan pertentangan dalam sebuah atap?

Mengkritisi idealisme dan pragmatisme, tak ubahnya mencampur air dan minyak dalam sebuah wadah. Kesia-sian dan mungkin omong kosong  dichotomy baik dan buruk, benar ataupun salah, serta hitam ataupun putih telah merusak  ketajaman sudut pandang. Masyarakat telah dijejali oleh pandangan-pandangan pengklasifikasian keyakinan. Bahwa suaru paham lebih tinggi dari paham yang lain, khususnya di negeri ini. Negeri ini mencoba menyeterukan gagasan ideal sebuah bangsa dan masyarakat. Namun, sayangnya idealisme dan pragmatisme lahir dari asumsi dasar yang berbeda. Suatu paham tidak akan mampu dikomparasikan dengan paham yang lain jika memiliki asumsi dasar dan paradigma yang berbeda. Lebih mudahnya jika kita mencoba mengkomparasikan idealisme dan pragmatisme sebagai  ‘pengetahuan’ dan ‘kepentingan’.

Idealisme sebagai pengetahuan mengemban cita-cita etis berupa kebaikan, kemurnian, dan keteguhan. Namun saat kita berbicara mengenai pragmatisme  maka kita membicarakan kepentingan apa yang akan ‘segera’ kita capai. Menurut catatan sejarah, pada masa Yunani Kuno, pengetahuan dan kepentingan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Masyarakat Yunani pada masa itu menekankan pada kekuatan cita-cita etis. “Dengan teori manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan” ,(Hadirman, 1989:19).

Pada masa tradisi ini, pengetahuan tidak dipisahkan dari kenyataan yang berbentuk ‘kepentingan’. Namun, setelah memasuki era modern, pemikiran filosofis mulai digandrungi. Sehingga pengetahuan dan kepentingan mulai memisahkan diri oleh batas-batas material. Idealisme dan pragmatisme mulai mencari masanya sendiri dan menimbulkan polemik baru .

Sebagai seorang mahasiswa yang diharapkan berenkarnasi dalam gelar, pekerjaan rumah semacam ini tentu saja harus terjawab dengan tuntas. Persoalan utama bukanlah kita penganut paham mana, tetapi bagaimana kita tetap mengemban ‘teori’ idealis , tetapi dengan praxis ala ‘pragmatis’. Dengan tuntutan jaman yang semakin buas, pengetahuan dan kepentingan pragmatis akan segera kehilangan pamor. Karena pragmatis tidak memiliki ‘etis’, tetapi hanya memiliki ‘citra’. Dunia membutuhkan sosok-sosok dengan kelengkapan etis dan citra dalam berfikir dan ber-action yaitu mahasiswa yang berani menjad seorang alien. Mahasiwa yang berani melawan arus di antara pertentangan idealisme dan pragmatisme. Mahasiswa yang mampu menghasilkan ide-ide dengan sarat teori, tetapi dengan praxis yang efisien dan terjangkau.  

Dichotomy idealisme dan pragmatisme hanya akan menemukan jalan buntu. Karena alien-alien jenis baru akan segera menelurkan ide-ide kraetif. Alien-alien yang mampu membungkam masa kini dan kembali pada masa lampu, lalu berenkarnasi demi masa depan. Menjadi seorang alien berarti menjadi mahasiswa yang tidak biasa-biasa saja di lingkungam masyarakat konsumtif dan hedonisme.  Baik dan buruk ala sosial tentu saja diperlukan, tetapi kebutuhan primer bangsa saat ini yaitu alen-alien yang tidak mengemis ‘kepentingan’, tetapi dengan pengetahuan mencoba meraih kepentingan. Penulis telah mencoba menjadi seorang alien tujuh belas tahun lamanya dengan melawan pemikiran orangtua, bernegosiasi dengan masa depan bahkan mencoba menaklukan takdir. Lalu bagaimana dengan Anda? Siapkah Anda menjadi seorang Alien?

Sponsor : ECC UGM
SUMBER PUSTAKA


Hardiman, Francisco Budi. 1989. Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Kanisius,    Yogyakarta. 

Mente, Boye de. 2009. Misteri Kode Samurai Jepang.  Garailmu, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar