“I
want to be Alien”
“Mungkin sulit untuk mengalahkan musuh, tapi
mudah untuk mengalahkan diri sendiri-kode etik samurai”, (de Mente, 2009 : 76)
Setiap manusia
terlahir dengan impian
kesempurnaan dan keabadian empiris. Mencoba tuli dengan kecacatan dan terus
bergerak lari dari polemik dan anarki dalam sebuah ruang. Mencoba
meraba-raba sekat, berbaur dengan sakti lalu berimitasi demi bertahan hidup. Mengolah
pikir dan bersimbiosis dengan rasa, mengelabui nurani. Manusia tercipta dengan
segala macam risiko yang telah mereka catat dalam jalan masa depan. Kekuatan
manusia sesungguhnya bukanlah apa yang dikatakan oleh sosial. Namun, bagaimana
seorang pribadi mampu mengelabui kekosongan ‘makna’, lalu menggores takdirnya sendiri dengan rasa
bangga tanpa sesal. Membentuk pribadi
yang murni, pribadi yang berani berbeda dari orang lain.
Dewasa ini, membentuk sebuah pribadi yang ideal tentu
saja membutuhkan tolok ukur yang tepat. Masyarakat yang tersusun oleh
atom-atom keraguan, menghakimi segala
macam bentuk keputusan ‘abstrak’ yang dianggap lemah teori. Paham-paham yang
keluar jalur dari ‘soal’ mulai ditinggalkan dan dianggap tidak relevan dengan hidup.
Manusia memuja suci, tetapi minim doa. Indonesia sebagai negara yang katanya menjujung kebudayaan timur nampak gusar saat kebudayaan barat mengibarkan
keperkasaannya. Indonesia mulai ragu dengan dirinya sendiri.
Keraguan ini lahir dari ketidakmamupuan masyarakat dalam
mengeja jaman. Era yang dapat berkembang tanpa proses, mencetak sejarah lalu
terlahir kembali dalam jenis baru. Namun, sayangnya virus ini tidak hanya
diidap oleh kelas-kelas minim huruf, tetapi juga mereka-mereka yang menyebut dirinya
sebagai insan terdidik, mahasiswa. Alih-alih mencetak sejarah baru, mahasiswa
seringkali terjebak dalam masalah dilematis yang mempertentangkan antara proses
dan hasil. Mereka terjebak oleh sebuah keyakinan
yang tengah digandrungi oleh agen-agen sosial. Agen-agen yang melempar wacana
idealisme dan pragmatisme sebagai ‘apa’ dan solusi sebagai ‘bagaimana’.
Wacana idealisme dan pragmatisme tengah mengudara
baru-baru ini. Idealisme dan pragmatisme hadir sebagai sebuah kolaborasi
dilematis di tengah kecamuk jaman. Merapatkan massa, merubah bentuk dan terus berpenetrasi
dalam ruang-ruang sosial. Memecah belah sendi-sendi kesatuan pikir, bermetamorfosis
dalam kelompok rentan ‘sesat’. Mahasiswa tumbuh dalam lingkungan sosial semacam
ini, hingga gelar mereka pun mulai dipertanyakan. Apakah mahasiswa mampu
mempersatukan pertentangan dalam sebuah atap?
Mengkritisi idealisme dan pragmatisme, tak ubahnya
mencampur air dan minyak dalam sebuah wadah. Kesia-sian dan mungkin omong
kosong dichotomy baik dan buruk, benar ataupun salah, serta hitam ataupun
putih telah merusak ketajaman sudut
pandang. Masyarakat telah dijejali oleh pandangan-pandangan pengklasifikasian
keyakinan. Bahwa suaru paham lebih tinggi dari paham yang lain, khususnya di
negeri ini. Negeri ini mencoba menyeterukan gagasan ideal sebuah bangsa dan
masyarakat. Namun, sayangnya idealisme dan pragmatisme lahir dari asumsi dasar
yang berbeda. Suatu paham tidak akan mampu dikomparasikan dengan paham yang
lain jika memiliki asumsi dasar dan paradigma yang berbeda. Lebih mudahnya jika
kita mencoba mengkomparasikan idealisme dan pragmatisme sebagai ‘pengetahuan’ dan ‘kepentingan’.
Idealisme sebagai pengetahuan mengemban cita-cita
etis berupa kebaikan, kemurnian, dan keteguhan. Namun saat kita berbicara
mengenai pragmatisme maka kita
membicarakan kepentingan apa yang akan ‘segera’ kita capai. Menurut catatan
sejarah, pada masa Yunani Kuno, pengetahuan dan kepentingan merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Masyarakat Yunani pada masa itu menekankan
pada kekuatan cita-cita etis. “Dengan teori manusia memperoleh suatu orientasi
untuk bertindak secara tepat sehingga praxis
hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan” ,(Hadirman,
1989:19).
Pada masa tradisi ini, pengetahuan tidak dipisahkan
dari kenyataan yang berbentuk ‘kepentingan’. Namun, setelah memasuki era modern,
pemikiran filosofis mulai digandrungi. Sehingga pengetahuan dan kepentingan
mulai memisahkan diri oleh batas-batas material. Idealisme dan pragmatisme
mulai mencari masanya sendiri dan menimbulkan polemik baru .
Sebagai seorang mahasiswa yang diharapkan berenkarnasi
dalam gelar, pekerjaan rumah semacam ini tentu saja harus terjawab dengan
tuntas. Persoalan utama bukanlah kita penganut paham mana, tetapi bagaimana
kita tetap mengemban ‘teori’ idealis , tetapi dengan praxis ala ‘pragmatis’. Dengan tuntutan jaman yang semakin buas, pengetahuan
dan kepentingan pragmatis akan segera kehilangan pamor. Karena pragmatis tidak
memiliki ‘etis’, tetapi hanya memiliki ‘citra’. Dunia membutuhkan sosok-sosok dengan kelengkapan
etis dan citra dalam berfikir dan ber-action
yaitu mahasiswa yang berani menjad seorang alien. Mahasiwa yang berani
melawan arus di antara pertentangan idealisme dan pragmatisme. Mahasiswa yang
mampu menghasilkan ide-ide dengan sarat teori, tetapi dengan praxis yang efisien
dan terjangkau.
Dichotomy
idealisme dan pragmatisme hanya akan menemukan jalan buntu. Karena alien-alien jenis
baru akan segera menelurkan ide-ide kraetif. Alien-alien yang mampu membungkam
masa kini dan kembali pada masa lampu, lalu berenkarnasi demi masa depan. Menjadi
seorang alien berarti menjadi mahasiswa yang tidak biasa-biasa saja di
lingkungam masyarakat konsumtif dan hedonisme.
Baik dan buruk ala sosial tentu saja diperlukan, tetapi kebutuhan primer
bangsa saat ini yaitu alen-alien yang tidak mengemis ‘kepentingan’, tetapi
dengan pengetahuan mencoba meraih kepentingan. Penulis telah mencoba menjadi
seorang alien tujuh belas tahun lamanya dengan melawan pemikiran orangtua, bernegosiasi
dengan masa depan bahkan mencoba menaklukan takdir. Lalu bagaimana dengan Anda?
Siapkah Anda menjadi seorang Alien?
Sponsor : ECC UGM
SUMBER PUSTAKA
Hardiman, Francisco Budi. 1989. Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Kanisius, Yogyakarta.
Mente, Boye de. 2009. Misteri Kode Samurai Jepang. Garailmu, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar