17 Juni 2022

Pengalaman Menabung 100 Juta Pertama dalam 2 Tahun!

Pengalaman Menabung 100 Juta Pertama

Berawal dari misi bertahan hidup, aku malah berkesempatan untuk mencicipi manisnya pengalaman menabung 100 juta pertama dalam 2 tahun. Selama pandemi, malah bisa menabung? Serius? 

Menurut Morgan Housel, ada tiga tipe orang di dunia ini. Pertama, orang yang menabung. Kedua, orang yang nggak bisa menabung. Ketiga, ada orang yang merasa menabung itu nggak perlu. Nah, kamu masuk golongan yang mana, nih? Kalau aku sendiri, jujur masuk kategori kedua. Akan tetapi, pandemi Covid-19 berhasil mengubah mindset-ku tentang menabung 100%. Aku yang parno dengan pandemi pun menyusun masterplan "bagaimana dapur rumah tetap mengepul". 

Aku bakal cerita sedikit kondisi keuangan keluarga pada awal pandemi atau sekitar bulan Maret 2020. Ayah menganggur karena tempatnya bekerja sepi order-an. Alhasil, ayah harus pulang ke Wonogiri.  

Sementara itu, ibu yang mempunyai warung kecil di desa juga harus merasakan goncangan ekonomi. Semua orang mengeluhkan nggak ada pemasukan. Dampaknya, budget belanja sembako dipangkas dan warung ibu pun ikutan sepi.  

Tak lama berselang, kantorku mengumumkan kebijakan work from home (WFH). Aku juga balik ke Wonogiri. 

Dengan kondisi seperti ini, gajiku harus cukup untuk meng-cover kebutuhan kami berempat, yaitu ayah, ibu, aku, dan adik. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya jadi pengin brebes mili. 😆

Aku yang tipe overthinking atau mungkin karena faktor kebanyakan membaca buku sejarah, sampai memikirkan bagaimana kalau perekonomian Indonesia runtuh seperti Orba 1998? Terus, Indonesia bakal dilanda kelaparan dengan jumlah tenaga kesehatan menipis. Apakah keluargaku masih bisa makan dengan layak? 

Untuk mengatasi rasa khawatir ini, aku pun menyusun strategi untuk bertahan hidup selama pandemi Covid-19 dengan menabung. Untuk makan saja susah, kok malah menabung?  

Tips Menabung 100 Juta Pertama 


Kalau mau usaha, pandemi bukanlah penghalang untuk menabung. 

(1) Fokus Menabung untuk Dana Darurat 

Untuk mereka yang tahu karakterku, pasti tahu banget betapa susahnya aku untuk menabung. Namun, berawal dari tekad untuk survive, aku belajar manajemen keuangan dasar dari Google dan YouTube. 

Satu ilmu yang aku jadikan patokan adalah harus memiliki tabungan minimal 6 bulan kali biaya hidup bulanan. 

Misalnya, biaya hidup keluarga sebesar Rp4 juta per bulan. Maka, aku harus segera menyisihkan uang sebanyak Rp4 juta x 6 bulan = Rp24 juta. 

Jadi, kalau ada kondisi darurat, minimal keluargaku dapat bertahan setengah tahun ke depan. Sayangnya, waktu itu aku nggak ada tabungan sama sekali. Pedih!

Misi menghemat pun dimulai. Aku ngadain rapat keluarga dan mensosialisasikan agenda menabung Rp24 juta. Dengan begini, kami dapat memotivasi satu sama lain agar sama-sama menghemat. 

Belajar dari buku The Psychology of Money, cara menabung bukanlah dari menambah pendapatan. Namun, menabung bisa dimulai dari kerendahan hati untuk hidup sederhana. Ada satu contoh yang diberikan Morgan Housel yang menurutku realistis dan bisa dijadikan pegangan. 

Suatu negara sedang mengalami krisis energi. Energi adalah sumber daya alam yang nggak bisa diperbarui. Namun, akhirnya negara tersebut berhasil melewati krisis. 

Kenapa masalah energi ini dapat teratasi? 

Tentu saja bukan karena energinya ditambah (karena memang nggak bisa ditambah). Namun, energi ini menjadi cukup karena masyarakat melakukan penghematan dan memakainya secukupnya saja. 

Sekarang, umpamakan gajimu seperti energi yang nggak bisa diperbarui. Jika ingin cukup, gunakan gaji sebijak dan sehemat mungkin, bukan dengan menambah gaji.   


(2) Membatalkan Langganan Streaming Platform 

Pada tahun 2020 aku resmi menceraikan dua streaming platform langganan yaitu Netflix dan WeTV (sekarang sudah kembali langganan Netflix 😂). Kedua platform ini adalah teman favoritku untuk menghabiskan weekend

Namun, aku memutuskan untuk membatalkan langganan agar dapat menghemat sekitar Rp83 ribu per bulan. Dampaknya luar biasa, lho. Uang sebesar Rp83 ribu dapat meng-cover biaya makan keluarga di Wonogiri selama dua hari. 


(3)  Gaya Hidup Minimalis: Kalau Nggak Beneran Butuh, Nggak Beli!

Sebenarnya aku sudah memulai gaya hidup minimalis jauh sebelum adanya pandemi dan cara ini sangat efektif. Gaya hidup ini pun aku lanjutin di rumah dan kuajarkan ke anggota keluarga. 

Aku melarang keras anggota keluarga untuk membeli barang baru, termasuk perlengkapan dapur, pakaian, furnitur, dan barang receh yang harganya murah sekalipun. Kalaupun ada barang Rp1 di Shopee, nggak akan aku checkout kalau nggak butuh. 

Walau ada temen ngajakin beli promo satu dapat dua, maaf aku pass dulu, ya. 

Segala macam promo marketplace nggak ada yang nyantol. Saking hematnya, keluarga kami mungkin sudah masuk ke kategori cheapskates kali, ya? 😆

Ngirit bukan berarti pelit. Kami nggak pelit untuk makanan dan kesehatan, kok. Sekitar 60% biaya hidup dialokasikan untuk membeli vitamin, alat kesehatan, dan buah-buahan. Target utama kami adalah bukan menjadi kaya, tetapi bagaimana seluruh keluarga tetap sehat.  


(4) Grow Your Own Food: Sayuran Tinggal Petik di Pekarangan


Selain minimalis, aku memulai gaya hidup berkelanjutan dengan berkebun. Berhubung pekarangan rumah cukup luas, aku mulai menanami aneka sayuran, seperti sawi, tomat, kacang-kacangan, labu, terong, bayam, dan masih banyak lagi. 

Alih-alih belanja di pasar, kami memanfaatkan hasil kebun untuk makanan sehari-hari. Sampai sekarang pun, kami tetap memanfaatkan hasil panen kebun. Nggak hanya gratis, tetapi pasti juga lebih sehat karena bebas dari pupuk kimia. 

Kalau ada sayuran atau makanan yang nggak terjual di warung, semua langsung aku olah sendiri. Caranya ini nggak hanya hemat, tetapi juga dapat mengurangi food waste. Kalau butuh cabai atau bumbu lainnya, tinggal melipir ke kebun.

Kalau urusan protein, kami juga beternak ayam dan lele. Saat jenuh dengan sayuran, kami mengambil telur ayam ataupun lele untuk dimasak. Biaya hidup pun bisa dipangkas sekitar 40% dengan adanya kebun di pekarangan. Bahkan, ada kalanya menu makan kami dalam sehari full dari kebun. 


(5) Memakai Skincare yang Penting Saja

Ketika melihat iklan sunscreen untuk aktivitas di dalam rumah, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Trik marketing benar-benar adaptif, ya? Sebelumnya, point of view marketing sunscreen fokus pada melindungi kulit dari sinar matahari. 

Namun, pandemi membuat orang-orang menghabiskan waktu di rumah sehingga nggak butuh lagi sunscreen antimatahari. Tim marketing putar otak agar penjualan sunscreen terselamatkan. 

Nah, lahirlah blue light protection sunscreen yang antisinar gawai untuk orang-orang yang WFH dan sekolah online

Apa artinya? Kita harus benar-benar selektif memilih skincare atau make-up yang benar-benar kita butuhin apa nggak. Kalau ngikutin marketing, nggak bakal ada habisnya. 

Makanya pertimbangkan untuk memakai basic skincare saja saat di rumah, seperti pembersih wajah dan pelembap. Aku pun nggak pakai lipstik kalau di rumah, he-he. Cukup memakai lip balm tipis-tipis.   

Kalau terpaksa ke luar rumah, aku hanya memakai sunscreen saja tanpa make-up. Alasannya? Mumpung semua pakai masker, aku nggak perlu dandan, ah. Praktis. 


(6) Pakai Sampai Habis

Pernahkah kalian menggunting bungkus odol agar bagian dalamnya bisa dipakai? Anak kos banget, ya? Bukannya medit (pelit-Red), memakai sampai habis cocok dengan prinsip zero waste lifestyle

Dengan begitu, kita bisa menghemat budget sekaligus melindungi bumi. Kini tidak ada lagi produk yang sebenarnya masih bisa dipakai, tetapi malah terbuang sia-sia. 

Nah, aku selalu menggunakan lotion, pelembap, deodoran, dan produk lainnya secukupnya aja dan aku habisin sampai ku gunting bungkusnya. Kalau belum habis, setop jangan beli yang baru dulu, deh. 

Langkah sederhana ini ternyata bisa bikin pengeluaranku menurun drastis dan nggak perlu sering-sering membeli produk skincare


(7) Membekukan Kartu Kredit

Belajar dari film Confessions of a Shopaholic, aku hati-hati banget saat memakai kartu kredit. Utang kartu kredit itu senyap, tetapi mematikan (berdasarkan pengalaman pribadi, he-he). 

Aku punya dua kartu kredit. Satu kartu kredit masih aku pakai, tetapi penggunaan di bawah Rp500 ribu per bulan. Biasanya aku pakai untuk membeli paket data, pulsa listrik, dan kebutuhan bulanan. 

Satu kartu kredit aku bekukan alias nggak aku pakai sama sekali. Proses menabung bisa kita mulai dengan berhenti berutang. Berutang boleh saja, tetapi kalian bisa mengukur batas kemampuan keuangan masing-masing, kan? Dengan mengurangi utang, lebih banyak uang yang bisa kita tabung. 

Bagaimana Cara Menabung yang Efektif? 

Dengan menerapkan tujuh cara di atas selama 2 tahun, aku pun bisa menabung sekitar 70% gaji per bulannya. Lalu, bagaimana cara menabung yang efektif? Setiap orang pasti punya case sendiri-sendiri. Jadi, satu cara yang efektif buat si A, belum tentu berhasil untuk si B. 

Solusinya, kenali kebiasaan belanja. 

Aku kasih contoh case belanjaku, ya. 


Aku tipe impulsive buyer untuk barang tertentu seperti merchandise K-Pop yang limited edition dan buku diskon. 

Nah, berhubung kartu kreditku terintegrasi ke semua e-commerce bahkan Google Pay, aku gampang banget buat belanja karena tinggal tempel sidik jari. Rasanya, tahu-tahu checkout sendiri tuh sistem.  

Solusinya, aku mencoba mengenali apa yang bikin aku males belanja. Sebenarnya, aku adalah tipe orang yang nggak mau ribet atau malas mengurus hal-hal administratif. Aku malas nelpon ke CS untuk meminta gratis annual fee, aku malas laporan pajak (tenang, aku tepat waktu, kok), aku malas ngurus surat-surat ke kecamatan, dan lain-lain. 

Aku pakai celah ini untuk setop belanja. 

Caranya, semua integrasi kartu kredit di e-commerce aku hapus! Kenapa efektif? Kalau sudah dihapus, aku nggak akan beli karena terlalu malas untuk mengambil CC di dompet dan mengulang kembali proses integrasi. 

Solusi kedua soal pembayaran transfer via internet banking. Rekeningku sudah terdaftar dalam layanan internet banking. Namun, rekening ibu belum terdaftar. Alhasil, gajiku sebagian besar langsung aku transfer ke rekening ibu, sekitar 90%.  Jadi, aku nggak bisa asal transfer lagi. 

Memang, kamu nggak bisa ke ATM? Aku tinggal di area pegunungan yang jauh dari fasilitas umum. Boro-boro ke ATM, ada sinyal internet saja sudah untung-untungan. Makanya cara mempersulit proses pembayaran ini sangat berhasil untuk menekan bibit-bibit impulsive buying-ku. 

Solusi untuk impulsive buying: MEMPERSULIT PROSES PEMBAYARAN. 

Uang yang aku transfer ke rekening ibu, akhirnya nggak tersentuh. Sebagian besar uang tersebut kami investasikan ke emas. Untung kecil, tetapi risiko kecil. Anggap saja menunggu uang-uang tersebut untuk beranak-pinak, kan? 

Solusi investasi saat pandemi: PILIH YANG RISIKO KECIL. 

Berkat strategi menabung ini, akhirnya aku berhasil menabung lebih dari Rp100 juta selama pandemi Covid-19. 

Mohon maaf, aku nggak bisa spill detail nominalnya karena nanti kalian tahu gajiku dong, ya. RA-HA-SI-A 👀 

Namun, satu hal yang bisa kita pelajari dari proses menabungku adalah tabungan ini bukan semata-mata berasal dari pemasukan. Namun, hasil akumulasi dari penghematan, kesadaran diri, dan menjaga bumi. 

Selain usaha diri, jangan lupa dengan campur tangan Sang Penguasa Semesta.   

Setiap satu bulan sekali, pastikan kita membayar zakat penghasilan sebesar 2,5% gaji. Kenapa harus zakat dan bersedekah? 

Karena sebenarnya, sebagian dari rejeki kita adalah titipan rejeki untuk orang lain. Selain berzakat, kamu juga bisa bersedekah kepada keluarga dekat ataupun fakir miskin. 

Dengan rutin berzakat dan bersedekah, hidup jauh lebih tentram dan rejeki pun dipermudah. Namun, niatkan bersedekah untuk Allah, bukan untuk meminta imbalan.  

Kapan Harus Memiliki Tabungan 100 Juta Pertama? 

Aku juga pengin sedikit mengangkat topik tentang obsesi kesuksesan dan usia. Kini banyak life goals viral, seperti tabungan 100 juta sebelum 30 tahun, punya rumah sebelum 30 tahun, investasi 1 miliar sebelum 40 tahun, dan lainnya.  

Lalu, bagaimana kalau kita sudah berusia lebih dari 30 tahun, tetapi tidak memiliki 100 juta? Apakah kita masuk dalam golongan gagal? Nggak juga, kan. 

Alih-alih membuat target usia, alangkah baiknya kita membuat target yang lebih realistis dengan kondisi diri yang sesungguhnya. Nggak perlu ngoyo.  

Kalian bisa mengganti target usia ini dengan target tahun. Sebagai contoh, target menabung 100 juta dalam 2 tahun (diganti durasi waktu, bukan usia). 

Akan tetapi, pastikan durasi ini juga realistis. Kalau saat ini gaji sekitar Rp2 juta per bulan, apakah dalam 2 tahun bisa mengumpulkan Rp100 juta? Apakah kita tidak butuh bayar listrik dan beli makan? 

Kita lihat dari logikanya dengan menabung seluruh gaji Rp2 juta karena ingin memiliki tabungan Rp100 juta dalam 2 tahun saja. 

Rp2 juta x 24 bulan = Rp48 juta. Walaupun kamu sudah nggak makan selama 2 tahun pun, gajimu nggak akan cukup untuk memenuhi target tabungan. Artinya, target durasi yang kamu bikin kurang realistis. 

Kita nggak perlu gengsi dan berpatokan pada "kesuksesan" orang lain. Buatlah target yang paling mungkin untuk digapai. 

Mari kita sesuaikan target menabung dengan kondisimu. Setelah gaji Rp2 juta dikurangi pengeluaran bulanan, kamu dapat menabung sekitar Rp1 juta per bulan. Maka dari itu, kamu harus mengganti target waktu dari 2 tahun menjadi 9 tahun. 

Target realistismu adalah "Menabung 100 Juta Pertama dalam 9 Tahun". Ingat, sembilan tahun terlihat sangat lama. Akan tetapi, kamu pasti juga akan mengalami kenaikan gaji, kan?

Jadi, kamu mungkin bisa meralisasikan target ini lebih cepat dari target. Berjalanlah sesuai dengan ritmemu sendiri. Biarkan orang lain berlari ke tujuannya. Biarkan orang lain berteleportasi ke tujuannya. Kamu boleh berjalan dengan santai, sesekali beristirahat sembari menikmati bekal, dan kamu akan tetap baik-baik saja










Tidak ada komentar:

Posting Komentar