KONSUMSI ‘PRESTISE’ PADA MOTOR
‘RASA’ BATIK
(Konsumsi Gaya Hidup Intelektual
‘Baru’)
Sumber gambar: portalberitanews.blogspot.com
Masyarakat
Komunal dan Monopoli Selera
Status sosial masyarakat Indonesia
dikenal luas sebagai masyarakat komunal, masyarakat yang menjunjung tinggi hasil pencapaian
bersama. Status yang pada hakikatnya tidak bermakna baik dan buruk, tetapi pada
realitanya berusaha untuk menampikkan dilema. Di dalam masyarakat komunal, suatu
individu ataupun benda akan memiliki ‘nilai’ jika telah diamini dan disahkan oleh
masyarakat. Individu harus mampu memahami penempatan diri yang tepat, jika mengharapkan adanya pengakuan. Siklus
ini disadari ataupun tidak menyebabkan pengklasifikasian kelas yang semakin
nyata. Masyarakat dengan sendirinya
menciptakan indikator kelas, apakah seorang individu masuk kelas atas, menengah
dan kelas bawah. Dengan adanya indikator ini, jika suatu individu memiliki kemiripan
terhadap suatu kelas, masyarakat akan memasukkan individu tersebut dengan ciri kelas
terdekat. Salah satu indikator yang sering menjadi acuan yaitu selera konsumsi.
Selera konsumsi antara pejabat,
intelektual, pengusaha dan buruh tentunya memiliki pola dan benda konsumsi yang
berbeda sesuai dengan kemampuan sosial dan ekonominya. Intelektual cenderung
mengkonsumsi konser musik jazz dan
opera, sementara buruh cenderung
mengkonsumsi pasar rakyat ataupun pasar malam. Perbedaan selera konsumsi ini
menimbulkan kesenjangan yang signifikan antar kelas sosial. Selera masyarakat
kelas atas yang dikenal dengan selera avant-garde
semakin dilirik oleh kalangan kelas bawah. Masyarakat kelas bawah yang minim finansial memberontak atas monopoli
selera kelas atas dan berusaha memenuhi kepuasan kemewahan melalui prestise. Kelas bawah berbondong-bondong
merusak selera intelektual tradisional dan membentuk selera intelektual ‘baru’.
Selera intelektual baru menekankan pada prestise suatu benda konsumsi bukan
fungsi atau nilai manfaat. Selera intelektual
baru ini dipopularisasikan oleh para penganutnya. Sehingga dapat dikatakan
masyarakat kelas bawah di Indonesia mulai merangkak menjadi kelas menengah
baru. Bahkan diyakini bahwa masyarakat kelas menengah baru ini merupakan kelas
yang paling konsumtif diantara kelas yang lain. Mereka meyakini bahwa dengan
membeli barang di Singapura, prestise
barang dan status sosialnya juga akan naik mengesampingkan fungsi atau manfaat
dari benda tersebut. Masyarakat kelas
menengah baru ini menjadi sasaran empuk sistem kapitalis karena kapitalisme menawarkan
kemewahan dengan nominal yang miring.
Investor asing yang berasal dari Eropa
dan Asia, seperti Amerika, Cina dan Jepang melalui pemahaman budaya masyarakat
Indonesia, melihat peristiwa ini sebagai peluang. Melalui kekuatan kapitalis,
penguasaha-pengusaha ini menciptakan fatamorgana di tengah bumi yang haus
pengakuan. Mereka menciptakan fatamorgana pada selera kelas menengah baru
(intelektual baru) yang menekankan pada konsumsi tanda-tanda. Menurut
Baudrillard (2001: 202), ciri terpenting dari gerakan yang menuju ke arah
produksi massa berbagai komoditas adalah bahwa hilangnya nilai-manfaat asli
yang ‘hakiki’ dari benda-benda yang disebabkan oleh dominasi nilai tukar dalam
kapitalisme telah menjadikan komoditas sebagai tanda.
Berdasarkan pendapat Baudrillard di
atas, masyarakat kelas menengah baru melalui mobilisasi berusaha meningkatkan
status sosialnya dengan konsumsi tanda. Di dalam
posmodernisme, fenomena ini dapat dimaklumi karena sebagai negara
berkembang, Indonesia membutuhkan pelbagai kesigapan dalam menyambut masuknya
budaya konsumsi negara maju. Masuknya teknologi dan gaya hidup yang berkiblat
pada kemewahan membuat masyarakat kita yang rentan akan narsisme semakin
berkutat pada konflik pencarian jati diri. Budaya konsumen pun menjadi
satu-satunya jawaban atas kebutuhan masyarakat kelas menengah baru.
Budaya konsumen menurut buku Posmodernisme dan Budaya Konsumen karya
Mike Featherstone (2008: 204), budaya konsumen secara efektif adalah budaya postmodern, suatu
budaya kedangkalan yang di dalam budaya itu
nilai-nilai ditransvaluasi (dievaluasikan oleh prinsip-prinsip baru) dan
seni telah mengungguli realitas. Melalui budaya konsumen, masyarakat Indonesia yang dikenal plural
disadari atau tidak telah hanyut pada roda konsumsi ini. Saat multikulturalisme
diyakini akan memberikan nilai positif bagi penghargaan terhadap keseragaman,
di sisi yang lain multikulturalisme digunakan sebagai media promosi masal
kapitalisme. Indonesia yang memiliki beragam budaya, ditangan budaya konsumen,
budaya menjadi produk kesenian. Posmodernisme lebih mengenal hidup adalah seni.
Masyarakat komunal di Indonesia mempopularisasi budaya konsumen ala kapitalis
dan mereka mengamini jati diri yang dibentuknya. Kini, gaya hidup telah menjadi
konsumsi massal, ditiru dan dijadikan kiblat.
Identitas Kesukuan yang Diindustrialisasi
Pada tanggal 20 Mei 2013 bertepatan
dengan Hari Kebangkitan Nasional, Yamaha
meluncurkan produk baru yaitu Fino edisi I Love Indonesia. Pemilihan waktu peluncuran produk yang bertema I love
Indonesia ini disesuaikan dengan peringatan hari kebangkitan nasioanal. Jika
dilihat dari segi momentum, Yamaha Fino sudah pasti menjual. Pembeli
seolah-olah dirasuki keyakinan ‘ motor baru cinta Indonesia di hari kebangkitan
negara’. Ditambah lagi, terdapat embel-embel
nasionalis “I Love Indonesia”, marketing Yamaha sudah pasti
mempertimbangkannya matang-matang. Pasar Indonesia memang cukup menjanjikan
berkaitan dengan barang elektronik, gadget
maupun kendaraan bermotor. Dua fabrikan raksasa Jepang yaitu Honda dan Yamaha
menunjukkan keperkasaannya dalam menjajah pasar otomotif.
General Manager Marketing Communication
and Community Development Yamaha Indonesia, Eko Prabowo menambahkan bahwa motor
Fino lebih bergerak dalam ranah fashion.
Yamaha menggunakan desainer perempuan dengan harapan Fino mampu menjawab
kebutuhan perempuan Indonesia. Fino memiliki tiga varian yaitu Hitam Srikandi,
Putih Kencana, dan Cokelat Saga. Ketiganya
mengandung motif Sulur batik yang biasa dipakai di batik, gamelan, kebaya,
ukiran yang menawarkan citra rasa Jawa.
Peluncuran motor matik Fino I Love
Indonesia tidak sebatas promosi produk, tetapi jika masyarakat lebih kritis,
nampak jelas bahwa Fino merupakan produk dari industralisasi budaya, khususnya
budaya Jawa. Tanpa menampik fakta bahwa konsumen utama Yamaha adalah orang
Jawa, Yamaha melemparkan wacana
nasionalis yaitu “I Love indonesia”. Dengan demikian, sebuah usaha untuk
mempertahankan tradisi atau budaya Jawa ini, pada akhirnya akan menimbulkan
polemik baru. Menimbulkan pengagungan dan monopoli suku tertentu dan bukannya
tidak mungkin menimbulkan cinta fanatik. Indonesia bukan hanya milik orang
Jawa, karena Indonesia terdiri dari beragam suku. Hal ini semakin kontradiktif dengan adanya
tulisan “I Love Indonesia” pada cover
body belakang dan leg shield cover
body depan. Tidak menutup kemungkinan pula akan muncul pemahaman budaya
baru bahwa hanya orang Jawa yang mencintai Indonesia atau orang Indonesia
adalah orang Jawa. Produk budaya konsumen ini pada akhirnya akan menjadi momok
kurangnya penghargaan keseragaman. Hal ini dikarenakan adanya ‘cinta fanatik’
terhadap suku atau negara setelah adanya konsumsi tanda secara massal.
Masyarakat Indonesia akan semakin kesulitan berkomunikasi antar kebudayaan atau
lintas budaya karena menilai budaya mereka lebih tinggi dari budaya yang
lain.
1. Konsumsi
Tanda
Saat
masyarakat kelas bawah mencoba menaikkan status sosialnya dan menjadi
masyarakat kelas menengah ‘baru’, budaya
konsumen menjadi satu-satunya jawaban. Tidak
mengherankan, saat ini jumlah masyarakat kelas bawah mulai menurun, berdifusi
menjadi masyarakat kelas menengah baru yang jauh berbeda dengan masyarakat
kelas menengah tradisional. Prestise
menjadi andalan masyarakat demi mengimbangi selera masyarakat kelas atas. Monopolisasi selera dan gaya hidup kelas atas
diadopsi dengan kualitas murahan. Handphone
merk Cina dengan harga murah laku keras di pasaran karena masyarakat kelas
menengah baru ini mencoba mengimbangi para kelas atas yang memakai BlackBerry
dan smartphone. Hasilnya, mucullah benda-benda yang
sebenarnya primer tetapi melalui kekuatan budaya baru ini menjadi sekunder.
Sehingga, saat suatu individu membeli barang tersebut akan muncul kesan ‘avant-garde semu’. Hal ini berkaitan
erat dengan konsumsi tanda. Pada motor matik Fino, penulis menemukan beberapa
indikasi adanya unsur jual-beli tanda.
a. Hari
Kebangkitan Nasional
Bersamaan
dengan Hari Kebangkitan Nasional, Yamaha menawarkan produk baru yaitu Fino I
Love Indonesia. Momentum ini dikaitkan dengan lahirnya sebuah inovasi otomotif di Indonesia. Motor dengan
cita rasa batik, motor yang melestarikan budaya bangsa. Para calon pembeli
dapat berbangga hati karena produk ini menunjukkan komitmennya pada ‘tanda’ dan
prestise hari besar.
b. Edisi
I Love Indonesia
Edisi
Fino I Love Indonesia menjajakan rasa nasionalisme dalam konsumsi. Masyarakat
yang tengah mabuk dengan tanda, memaknai
edisi I Love Indonesia sebagai salah satu cara untuk berbakti kepada negara
dengan cara yang mewah dan instan. Meskipun, tujuan utama dari penjualan produk
ini hanyalah keuntungan semata. Masyarakat Indonesia merasakan sensasi
perjuangan atau kekeluargaan dengan Fino karena menununjukkan cinta negara.
Kecintaan fanatik melalui konsumsi tanda ini mampu memenuhi kebutuhan jati diri
masyarakat atau tepatnya narsisme.
c. Grafis
Sulur Batik
Penggunaan
grafis ini dinilai sebagai salah satu cara melestarikan kebudayaan Jawa yaitu
batik. Selain menunjukkan kesan etnik dan berkelas tinggi, mayoritas penduduk
Indonesia adalah orang Jawa. Sehingga penggunaan simbol sulur batik ini akan
lebih menyedot pembeli dibandingkan daerah lain. Yamaha melakukan pemanfaatan selera
mayoritas dan mempopularisasikannya dengan cinta budaya bangsa, sehingga masyarakat
akan terbuai dan tergila-gila dengan produk yang memiliki ikatan batin dengan
sukunya.
d. Varian
Hitam Srikandi, Putih Kencana, dan Cokelat Saga
Ketiga
varian Fino ini memiliki arti yang beragam. Diambil dari filosofi Jawa, para
pengguna Fino nantinya akan mendapatkan identitas baru dari pengkonsumsian
tanda tersebut. Hitam Srikandi mewakili pesona malam penuh bintang, Putih
Kencana mewakili air suci dan murni,
sementara Cokelat Saga mewakili bumi yang subur dan makmur.
Masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat kelas menengah baru merupakan agen konsumsi
tanda terbesar. Kebutuhannya akan status sosial yang tinggi terjawab dengan
monopolisasi dalam gaya hidup yang mewah. Barang-barang impor laku keras,
bahkan saat ini kita kesulitan untuk menilai identitas suatu individu karena
banyaknya tanda yang mereka konsumsi. Apakah individu tersebut menjadi orang
Korea saat rambutnya dicat warna-warni, menggunakan handphone Samsung dan mengenakan sepatu boot? Apakah seorang individu menjadi orang Amerika karena
mengenakan baju ‘I Love New York’? Dan apakah kita menjadi orang Jawa dengan
memakai baju batik? Masyarakat Indonesia selalu dijejali dengan tanda-tanda
yang mengarah pada kecintaan fanatik semata, sehingga lambat laun mereka
mengalami krisis identitas. Industralisasi budaya ini memang memberikan
keuntungan yang besar, tetapi identitas menjadi taruhannya. Bahkan tidak
menutup kemungkinan ‘kebersamaan’ itu akan musnah jika setiap orang memakai
identitas sukunya, misalkan ‘I Love Batak’, ‘I Love Sumedang’, ‘I Love Jawa’,
serta ‘I Love Papua’. Rasa narsisme akan terpenuhi, tetapi konflik akan
menyambut dengan segera.
Meningkatnya
konsumsi tanda ini hanya mampu memenuhi narsisme, bukan suatu gerakan peduli
terhadap suatu negara dan suku. Bahkan seni turut menjadi korban, orang-orang
menyukai fotografi dengan minim keahlian, semata-mata mengikuti trend kamera mahal. Masyarakat Indonesia
berjamaah memenuhi narsisme melalui konsumsi tanda yang konsumtif. Menjadikan
keperkasaan tanda dalam budaya sebagai gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Featherstone,
Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar