24 Juni 2013

KONSUMSI ‘PRESTISE’ PADA MOTOR ‘RASA’ BATIK
(Konsumsi Gaya Hidup Intelektual ‘Baru’)

Sumber gambar: portalberitanews.blogspot.com

Masyarakat Komunal dan  Monopoli Selera 
Status sosial masyarakat Indonesia dikenal luas sebagai masyarakat komunal, masyarakat  yang menjunjung tinggi hasil pencapaian bersama. Status yang pada hakikatnya tidak bermakna baik dan buruk, tetapi pada realitanya berusaha untuk menampikkan dilema. Di dalam masyarakat komunal, suatu individu ataupun benda akan memiliki ‘nilai’ jika telah diamini dan disahkan oleh masyarakat.  Individu harus mampu memahami penempatan diri yang tepat, jika mengharapkan adanya pengakuan. Siklus ini disadari ataupun tidak menyebabkan pengklasifikasian kelas yang semakin nyata.  Masyarakat dengan sendirinya menciptakan indikator kelas, apakah seorang individu masuk kelas atas, menengah dan kelas bawah. Dengan adanya indikator ini, jika suatu individu memiliki kemiripan terhadap suatu kelas, masyarakat akan memasukkan individu tersebut dengan ciri kelas terdekat. Salah satu indikator yang sering menjadi acuan yaitu selera konsumsi.

Selera konsumsi antara pejabat, intelektual, pengusaha dan buruh tentunya memiliki pola dan benda konsumsi yang berbeda sesuai dengan kemampuan sosial dan ekonominya. Intelektual cenderung mengkonsumsi  konser musik jazz dan opera,  sementara buruh cenderung mengkonsumsi pasar rakyat ataupun pasar malam. Perbedaan selera konsumsi ini menimbulkan kesenjangan yang signifikan antar kelas sosial. Selera masyarakat kelas atas yang dikenal dengan selera avant-garde semakin dilirik oleh kalangan kelas bawah. Masyarakat kelas bawah  yang minim finansial memberontak atas monopoli selera kelas atas dan berusaha memenuhi kepuasan kemewahan melalui prestise. Kelas bawah berbondong-bondong merusak selera intelektual tradisional dan membentuk selera intelektual ‘baru’.
 Selera intelektual baru menekankan pada prestise suatu benda konsumsi bukan fungsi atau nilai manfaat.  Selera intelektual baru ini dipopularisasikan oleh para penganutnya. Sehingga dapat dikatakan masyarakat kelas bawah di Indonesia mulai merangkak menjadi kelas menengah baru. Bahkan diyakini bahwa masyarakat kelas menengah baru ini merupakan kelas yang paling konsumtif diantara kelas yang lain. Mereka meyakini bahwa dengan membeli barang di Singapura, prestise barang dan status sosialnya juga akan naik mengesampingkan fungsi atau manfaat dari benda tersebut.  Masyarakat kelas menengah baru ini menjadi sasaran empuk sistem kapitalis karena kapitalisme menawarkan kemewahan dengan nominal yang miring.
Investor asing yang berasal dari Eropa dan Asia, seperti Amerika, Cina dan Jepang melalui pemahaman budaya masyarakat Indonesia, melihat peristiwa ini sebagai peluang. Melalui kekuatan kapitalis, penguasaha-pengusaha ini menciptakan fatamorgana di tengah bumi yang haus pengakuan. Mereka menciptakan fatamorgana pada selera kelas menengah baru (intelektual baru) yang menekankan pada konsumsi tanda-tanda. Menurut Baudrillard (2001: 202), ciri terpenting dari gerakan yang menuju ke arah produksi massa berbagai komoditas adalah bahwa hilangnya nilai-manfaat asli yang ‘hakiki’ dari benda-benda yang disebabkan oleh dominasi nilai tukar dalam kapitalisme telah menjadikan komoditas sebagai tanda.
Berdasarkan pendapat Baudrillard di atas, masyarakat kelas menengah baru melalui mobilisasi berusaha meningkatkan status sosialnya dengan konsumsi tanda.  Di dalam  posmodernisme, fenomena ini dapat dimaklumi karena sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan pelbagai kesigapan dalam menyambut masuknya budaya konsumsi negara maju. Masuknya teknologi dan gaya hidup yang berkiblat pada kemewahan membuat masyarakat kita yang rentan akan narsisme semakin berkutat pada konflik pencarian jati diri. Budaya konsumen pun menjadi satu-satunya jawaban atas kebutuhan masyarakat kelas menengah baru.
Budaya konsumen menurut buku Posmodernisme dan Budaya Konsumen karya Mike Featherstone (2008: 204), budaya konsumen  secara efektif adalah budaya postmodern, suatu budaya kedangkalan yang di dalam budaya itu  nilai-nilai ditransvaluasi (dievaluasikan oleh prinsip-prinsip baru) dan seni telah mengungguli realitas. Melalui budaya konsumen,  masyarakat Indonesia yang dikenal plural disadari atau tidak telah hanyut pada roda konsumsi ini. Saat multikulturalisme diyakini akan memberikan nilai positif bagi penghargaan terhadap keseragaman, di sisi yang lain multikulturalisme digunakan sebagai media promosi masal kapitalisme. Indonesia yang memiliki beragam budaya, ditangan budaya konsumen, budaya menjadi produk kesenian. Posmodernisme lebih mengenal hidup adalah seni. Masyarakat komunal di Indonesia mempopularisasi budaya konsumen ala kapitalis dan mereka mengamini jati diri yang dibentuknya. Kini, gaya hidup telah menjadi konsumsi massal, ditiru dan dijadikan kiblat.         
Identitas  Kesukuan yang Diindustrialisasi
Pada tanggal 20 Mei 2013 bertepatan dengan  Hari Kebangkitan Nasional, Yamaha meluncurkan produk baru yaitu Fino edisi I Love Indonesia. Pemilihan waktu  peluncuran produk yang bertema I love Indonesia ini disesuaikan dengan peringatan hari kebangkitan nasioanal. Jika dilihat dari segi momentum, Yamaha Fino sudah pasti menjual. Pembeli seolah-olah dirasuki keyakinan ‘ motor baru cinta Indonesia di hari kebangkitan negara’. Ditambah lagi, terdapat embel-embel nasionalis  “I Love Indonesia”, marketing Yamaha sudah pasti mempertimbangkannya matang-matang. Pasar Indonesia memang cukup menjanjikan berkaitan dengan barang elektronik, gadget maupun kendaraan bermotor. Dua fabrikan raksasa Jepang yaitu Honda dan Yamaha menunjukkan keperkasaannya dalam menjajah pasar otomotif. 
General Manager Marketing Communication and Community Development Yamaha Indonesia, Eko Prabowo menambahkan bahwa motor Fino lebih bergerak dalam ranah fashion. Yamaha menggunakan desainer perempuan dengan harapan Fino mampu menjawab kebutuhan perempuan Indonesia. Fino memiliki tiga varian yaitu Hitam Srikandi, Putih Kencana,  dan Cokelat Saga. Ketiganya mengandung motif Sulur batik yang biasa dipakai di batik, gamelan, kebaya, ukiran yang menawarkan citra rasa Jawa.     
Peluncuran motor matik Fino I Love Indonesia tidak sebatas promosi produk, tetapi jika masyarakat lebih kritis, nampak jelas bahwa Fino merupakan produk dari industralisasi budaya, khususnya budaya Jawa. Tanpa menampik fakta bahwa konsumen utama Yamaha adalah orang Jawa, Yamaha melemparkan wacana  nasionalis yaitu “I Love indonesia”. Dengan demikian, sebuah usaha untuk mempertahankan tradisi atau budaya Jawa ini, pada akhirnya akan menimbulkan polemik baru. Menimbulkan pengagungan dan monopoli suku tertentu dan bukannya tidak mungkin menimbulkan cinta fanatik. Indonesia bukan hanya milik orang Jawa, karena Indonesia terdiri dari beragam suku.  Hal ini semakin kontradiktif dengan adanya tulisan “I Love Indonesia” pada cover body belakang dan leg shield cover body depan. Tidak menutup kemungkinan pula akan muncul pemahaman budaya baru bahwa hanya orang Jawa yang mencintai Indonesia atau orang Indonesia adalah orang Jawa. Produk budaya konsumen ini pada akhirnya akan menjadi momok kurangnya penghargaan keseragaman. Hal ini dikarenakan adanya ‘cinta fanatik’ terhadap suku atau negara setelah adanya konsumsi tanda secara massal. Masyarakat Indonesia akan semakin kesulitan berkomunikasi antar kebudayaan atau lintas budaya karena menilai budaya mereka lebih tinggi dari budaya yang lain.   
1.      Konsumsi Tanda
Saat masyarakat kelas bawah mencoba menaikkan status sosialnya dan menjadi masyarakat kelas menengah ‘baru’,  budaya konsumen menjadi satu-satunya jawaban.  Tidak mengherankan, saat ini jumlah masyarakat kelas bawah mulai menurun, berdifusi menjadi masyarakat kelas menengah baru yang jauh berbeda dengan masyarakat kelas menengah tradisional. Prestise menjadi andalan masyarakat demi mengimbangi selera masyarakat kelas atas.  Monopolisasi selera dan gaya hidup kelas atas diadopsi dengan kualitas murahan. Handphone merk Cina dengan harga murah laku keras di pasaran karena masyarakat kelas menengah baru ini mencoba mengimbangi para kelas atas yang memakai BlackBerry dan smartphone.  Hasilnya, mucullah benda-benda yang sebenarnya primer tetapi melalui kekuatan budaya baru ini menjadi sekunder. Sehingga, saat suatu individu membeli barang tersebut akan muncul kesan ‘avant-garde semu’. Hal ini berkaitan erat dengan konsumsi tanda. Pada motor matik Fino, penulis menemukan beberapa indikasi adanya unsur jual-beli tanda.
a.       Hari Kebangkitan Nasional
Bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Yamaha menawarkan produk baru yaitu Fino I Love Indonesia. Momentum ini dikaitkan dengan lahirnya sebuah  inovasi otomotif di Indonesia. Motor dengan cita rasa batik, motor yang melestarikan budaya bangsa. Para calon pembeli dapat berbangga hati karena produk ini menunjukkan komitmennya pada ‘tanda’ dan prestise hari besar. 
b.      Edisi I Love Indonesia
Edisi Fino I Love Indonesia menjajakan rasa nasionalisme dalam konsumsi. Masyarakat yang tengah mabuk dengan tanda,  memaknai edisi I Love Indonesia sebagai salah satu cara untuk berbakti kepada negara dengan cara yang mewah dan instan. Meskipun, tujuan utama dari penjualan produk ini hanyalah keuntungan semata. Masyarakat Indonesia merasakan sensasi perjuangan atau kekeluargaan dengan Fino karena menununjukkan cinta negara. Kecintaan fanatik melalui konsumsi tanda ini mampu memenuhi kebutuhan jati diri masyarakat atau tepatnya narsisme.  
c.       Grafis Sulur Batik
Penggunaan grafis ini dinilai sebagai salah satu cara melestarikan kebudayaan Jawa yaitu batik. Selain menunjukkan kesan etnik dan berkelas tinggi, mayoritas penduduk Indonesia adalah orang Jawa. Sehingga penggunaan simbol sulur batik ini akan lebih menyedot pembeli dibandingkan daerah lain. Yamaha melakukan pemanfaatan selera mayoritas dan mempopularisasikannya dengan cinta budaya bangsa, sehingga masyarakat akan terbuai dan tergila-gila dengan produk yang memiliki ikatan batin dengan sukunya.   
d.      Varian Hitam Srikandi, Putih Kencana, dan Cokelat Saga   
Ketiga varian Fino ini memiliki arti yang beragam. Diambil dari filosofi Jawa, para pengguna Fino nantinya akan mendapatkan identitas baru dari pengkonsumsian tanda tersebut. Hitam Srikandi mewakili pesona malam penuh bintang, Putih Kencana  mewakili air suci dan murni, sementara Cokelat Saga mewakili bumi yang subur dan  makmur.

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kelas menengah baru merupakan agen konsumsi tanda terbesar. Kebutuhannya akan status sosial yang tinggi terjawab dengan monopolisasi dalam gaya hidup yang mewah. Barang-barang impor laku keras, bahkan saat ini kita kesulitan untuk menilai identitas suatu individu karena banyaknya tanda yang mereka konsumsi. Apakah individu tersebut menjadi orang Korea saat rambutnya dicat warna-warni, menggunakan handphone Samsung dan mengenakan sepatu boot? Apakah seorang individu menjadi orang Amerika karena mengenakan baju ‘I Love New York’? Dan apakah kita menjadi orang Jawa dengan memakai baju batik? Masyarakat Indonesia selalu dijejali dengan tanda-tanda yang mengarah pada kecintaan fanatik semata, sehingga lambat laun mereka mengalami krisis identitas. Industralisasi budaya ini memang memberikan keuntungan yang besar, tetapi identitas menjadi taruhannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan ‘kebersamaan’ itu akan musnah jika setiap orang memakai identitas sukunya, misalkan ‘I Love Batak’, ‘I Love Sumedang’, ‘I Love Jawa’, serta ‘I Love Papua’. Rasa narsisme akan terpenuhi, tetapi konflik akan menyambut dengan segera.
Meningkatnya konsumsi tanda ini hanya mampu memenuhi narsisme, bukan suatu gerakan peduli terhadap suatu negara dan suku. Bahkan seni turut menjadi korban, orang-orang menyukai fotografi dengan minim keahlian, semata-mata mengikuti trend kamera mahal. Masyarakat Indonesia berjamaah memenuhi narsisme melalui konsumsi tanda yang konsumtif. Menjadikan keperkasaan tanda dalam budaya sebagai gaya hidup.

DAFTAR PUSTAKA


Featherstone, Mike. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar