20 Desember 2011

Nasionalism for Nation


Nasionalism for Nation
Sebuah negara dengan penduduk padat, angka kriminalitas yang tak kunjung menurun,  sarang koruptor, dan ‘lumbung padi’ yang kelaparan. Sebuah negara yang terangkum dalam Bhineka Tunggal Ika dan untaian-untaian mimpi Pancasila yang terus menjadi mimpi. Negara yang terlampau instan, banyak rapat sana-sini, konflik,  menjudge, dan sulit mengeja apa itu demokrasi? Sebuah rumah  khalayak ‘kandang’, berlubang, tak tahan goncangan dengan pemilik yang frustasi. Tanpa henti dicekoki pencitraan yang buruk, pemberedelan optimisme, dan pembatasan daya cipta. Masih layakkah  negara ini disebut  ‘rumah yang ideal’? Rasanya ini terlalu berlebihan. Indonesia tidaklah sedangkal itu. Untuk menjadi Indonesia yang seperti ini saja, bukanlah pemberian cuma-cuma. Namun, darah dan airmata adalah bukti bahwa Indonesia bukanlah omong-kosong. Menilai menjadi Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda adalah harga mati.  Menjadi Indonesia yakni  menegakkan  konsekuensi   WNI sebagai  nationalism for nation, bukan sebagai takdir  atau pemberian  tuhan karena Indonesia tidak  butuh penduduk, tetapi butuh  warga negara yang loyal pada negaranya.


Fakta telah menunjukkan  bahwa  ratusan juta orang bermukim di Indonesia, bekerja, beribadah, liburan ataupun  menggelandang yang mepertajam beban APBN. Kehidupan mereka  didoktrin janji  para oknum yang ‘cinta rakyat’. Hukum jelas ada, tapi penegaknya sedikit. Hukum bukan milik orang miskin. Jika bukan orang kaya atau anak pejabat dilarang bersentuhan dengan hukum. Mimpi-mimpi suci Pancasila itu simpel, tapi praktiknya sulit. Sampai detik inipun,  saat negara lain tengah berbenah, Indonesia masih saja berkutat pada pencarian jati diri. Melemparkan wacana, ada yang salah dengan ideologi negeri ini.  Memang benar di dunia ini tidak ada manusia yang ingin dilahirkan miskin, cacat, dan menjadi cemooh orang lain. Demikian pula dengan Indonesia, lahir prematur atas kekhawatiran politik devide et impera penjajahan, menjadikan Indonesia lahir cacat dan miskin. Kehidupan negara yang labil, sistem carut-marut diperburuk dengan sumber daya manusia yang serakah. Kebobrokan disana-sini, kaya adalah juragan, miskin adalah buruh. Inilah mental negara yang turun-temurun terajut dalam nadi, dampak pembodohan berkepanjangan.

Namun, Indonesia tidak butuh semua ini. Banyak  teori, analisa, olok-olok dan banyak ngomong, tapi minim aksi. Tidak butuh cendikiawan-cendikiawan yang lihai mengupat  cacat, tapi tumpul dalam memberikan solusi. Adapun aksi lebih terfokus pada wacana ‘pemberontakan’, bukan penyelesaian. Lalu, apa yang diharapkan dari Indonesia?Pembubaran? Atau pembentukan negara bagian? Yang dibutuhkan Indonesia masa kini  adalah loyalitas. Apa yang kamu berikan untuk negara, bukan apa yang negara berikan untukmu?Jika tidak, segera ganti kewarganegaraan, toh menjadi warga negara Indonesia bukanlah paksaan. Pepatah ‘habis manis, sepah dibuang’ terlampau sayang untuk Indonesia yang lahir dari pengorbanan nyawa. Jangan hanya menjadi penduduk yang menambah beban negara, tapi jadilah warga negara yang cinta negaranya tanpa memuja, tanpa intrik tanpa maksud terselubung.  Cintailah Indonesia dengan aksi dan solusi, karena krisis di Indonesia telah mencapai tingkat akut. Menjadi Indonesia yang sesungguhnya bukanlah mimpi.  Khalayak  merubah sketsa menjadi lukisan, Indonesia akan lebih apik jika Warga Negara Indonesia teteh memaknai nasionalisme  demi  terwujudnya mimpi-mimpi suci Pancasila.

1 komentar: