21 November 2014

Cuandi!

Saking banyaknya candi yang mengepung Jogja, aku menyebutnya Cuandi! Jogja memang sadis, kota cantik yang begitu sayang untuk ditinggalkan begitu saja setelah kelulusan. Jogja tak melulu dengan Cuandi Prambanan, karena masih banyak candi-candi lain yang menanti untuk kamu kunjungi. Perjalanan singkat menelusuri jejak-jejak masa lampau ini dimulai. Saya sarankan baca tulisan ini sambil mendengarkan Our Roots dari TTAW, dijamin epik!

SAMBISARI!


Perjalanan kali ini tak akan berbagi sejarah, seperti halnya membaca buku sambil meminum secangkir kopi di cafe favorit, saya ingin menikmati Cuandi Sambisari dengan perasaan yang sama. Hanya jalan-jalan, menikmati rasa kagum dan berfoto. Atau sama halnya dengan kita menggoda seorang pria, tapi tak mau dicium.  Sekedar wisata icip-icip tapi tak mau membeli!

16 Agustus 2014

IPK Rendah? Banyak Dicari!

Akhirnya, saya memiliki cukup waktu untuk berbagi sekarang. Setelah hampir enam bulan magang di sebuah graha karier di Yogyakarta, saya tentu memiliki begitu banyak pengalaman yang ingin saya bagikan. Rasanya, saya harus merangkai tiap ingatan yang mulai beradu cepat di kepala. Namun, satu hal yang tak mungkin saya lupa bahwa pengalaman berharga ini membuat saya tumbuh menjadi sosok yang lebih dewasa. Saya pun menjadi lebih terbuka dengan beragam pikiran dan sedikit menyesali sikap kekanak-kanakan tempo dulu. 

7 Juli 2014

A Letter from Your Twins



'Our twins's bracelet'

Did you know, Jun? I got an article from Chungdae Post in my university library. They talked about real friendship. The theme was ' who is your best friend? Who did you spend the most time with?'. The answer was handphone or smartphone.


15 Maret 2014

Kursi Kosong yang Menanti dari Masa Lalu


Kursi Kosong yang Menanti dari Masa Lalu
Saya rindu sosok kosong dari masa lalu.
Merindukan sosok pemarah, acuh tak acuh, tetapi antusias! Rindu berkencan dengan pembuat onar dalam diri. Kata Emak, dia bersedia mencintaiku, apapun rupaku, meski rupa tikus! Kata Ayahku? Ia tak pernah berkata apapun, kecuali aku cantik. Bahkan sampai terakhir kali kami bersua, ia tak pernah berikrar bahwa ia mencintaiku. Ia lebih senang bersua tentang Antasari atau Persebaya, bukan aku. Sementara aku, lebih suka mengacuhkan setiap pesan singkatnya dibandingkan meneleponnya. Lalu menghujat, "Bapak, apa Kau cinta padaku?". Setelah meninggalkan kami dan mengutusku sebagai anak perempuan pertama, sosok kosong itu lenyap bersamanya. Jiwa kekanak-kanakan yang dititipkannya, turut dibawa pergi. Jika diterjemahkan dalam bahasa sosial, aku lebih manusiawi dengan sendiri.